- Transistor Final atau Transistor Horisontal
Seperti halnya transistor final pada smps, transistor output defleksi horisontal dipilih dari transistor dengan karakteristik yang mampu untuk men-switch pada frekuensi tinggi dengan arus kolektor yang cukup (frekuensi pada output horisontal TV umumnya sekitar 15 s/d 40Khz). Selain kemampuan frekuensi kerja yang cukup, tegangan colector emitor (VCE), tegangan breakdown yang cukup aman, tegangan saturasi basis (besar tegangan minimal yang dibutuhkan oleh transistor untuk menswith penuh/saturated) dan arus kolektor maksimum yang aman juga harus terpenuhi.
Dimisalkan frekuensi kerja horisontal sebesar 15625Hz, maka transistor final tersebut akan ON dan OFF sebanyak 15625 kali perdetik. Ketika kondisi ON, terdapat arus kolektor yang tertinggi (sebaliknya terdapat tegangan kolektor yang terendah). Ketika OFF, tegangan kolektor akan naik dengan besar tegangan yang melebihi tegangan kerja dari transistor itu sendiri (sebagai akibat demagnetisasi inti trafo yang diswitch). Tegangan ini harus diblok/ditahan supaya tidak merusakkan transistor tersebut. Kapasitor snubber dan dioda dumper diperlukan untuk fungsi penahan tegangan ini. Kapasitor snubber ini oleh para bengkel sering disebut sebagai kapasitor horisontal/kapasitor kolektor horisontal.
Guna menjaga supaya sistem penguat horisontal ini tidak berosilasi sendiri (self oscillation) yang berakibat fatal, bias basis transistor horisontal dijaga sekecil mungkin dengan impedansi basis serendah mungkin dengan resistor clamp. Pada umumnya transistor horisontal secara internal sudah dilengkapi dengan resistor clamp dan dioda dumper. Selain sebagai pelindung self oscillation, clamp ini juga berfungsi sebagai akselerator waktu yang dibutuhkan untuk membuang muatan kolektor.
Secara praktek transistor smps reguler (tanpa Rbe dan dioda dumper) dapat digunakan sebagai transistor final horisontal, tetapi harus dilengkapi dengan Rbe dan dumper eksternal, begitu juga dengan karakteristik-karakteristik lain harus dipilih supaya penguat dapat beroperasi dengan normal dan tidak menimbulkan self-oscillation dan arus kontinu. Sebaliknya, bila transistor final horisontal digunakan untuk final smps, maka transistor tersebut akan kesulitan start/switch karena pada umumnya transistor horisontal secara internal dilengkapi dengan Rbe. - Flyback Transformer (FBT)
Tegangan utama dari FBT adalah tegangan HV anoda yang digunakan untuk menyalakan CRT, tegangan screen (G2), tegangan focus (G3), tegangan Video output, tegangan heater dan tegangan AFC. Selain tegangan-tegangan tersebut, sering juga terdapat tegangan lainnya yang digunakan untuk blok-blok lain, misalnya tegangan untuk blok output vertikal, tegangan VT, tegangan untuk IC chroma/IF dan tuner.
Bagian primer FBT diswitch oleh transistor horisontal sehingga FBT dapat menginduksikan tegangan pada lilitan sekundernya. Tegangan HV yang dikeluarkan melalui tahap penyearahan dan pengalian/penggandaan tegangan terlebih dahulu didalam FBT hingga mencapai tegangan berkisar 20 s/d 26KV. Umumnya tegangan screen dan focus disadapkan dari sekunder HV tersebut dengan menggunakan trimpot/potensio screen dan focus.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan tipe alternatif FBT adalah tegangan B+ (atau tegangan primer dari FBT), aplikasi/frekuensi kerja dari FBT (digunakan sebagai TV, monitor atau fungsi yang lain), tegangan HV output (besar tegangan HV tergantung dari jenis dan besar CRT yang dipakai) dan kelengkapan tegangan sekunder. Tidak semua FBT mempunyai karakteristik yang sama, terlebih pada keluaran tegangan HV yang dikeluarkan. Misalnya tipe 154-064P dengan 154-177B, secara pin to pin keduanya sama persis tetapi output tegangan HV-nya berbeda. 154-177B lebih tinggi sekitar 2000an volt. Begitu juga pada tipe lain, misalnya FA-060 dengan FA-061.
Sebagai contoh penerapannya, 154-064P digunakan untuk menyalakan CRT 14” sedangkan 154-177B digunakan untuk menyalakan CRT 20”. Bila CRT 14” ‘dipaksa’ diberi tegangan yang setara dengan 20” memang secara kasat mata tidak terlihat perbedaannya (bahkan gambar terlihat lebih kinclong), tetapi jumlah radiasi sinar-X akan lebih besar kuantitasnya, berbahaya dan tidak terlihat secara kasat mata (baca stiker pada CRT, ‘X-RAY WARNING : When this picture tube is ...’).
Dimisalkan secara normal sebuah FBT dengan B+ primer 110V menghasilkan output HV sebesar 22KV berarti tegangan HV-nya sekitar 200 kali tegangan primernya, bila tegangan primernya (B+) dinaikkan menjadi 115V (dinaikkan 5V saja), maka output HVnya menjadi sekitar 23KV (naik 1000V dari nilai normalnya) yang akan mencapai ‘X-RAY Warning’ atau bahkan bila berlebihan dapat merusakkan CRT karena over voltage.
Tegangan primer (B+) disesuaikan dengan desain secara keseluruhan. Tidak semua FBT mempunyai tegangan B+ masukan yang sama. Tujuan utama perbedaan B+ ini adalah efisiensi dan murahnya biaya produksi. Semakin tinggi desain tegangan primernya, semakin rendah arus yang dibutuhkan. Semakin rendah arus yang dibutuhkan, semakin murah transistor final dan komponen lain yang digunakan (misalnya blok SMPS). Begitu pula dengan FBT, jumlah lilitan primer akan lebih banyak, kawat primer lebih kecil, lilitan sekunder lebih sedikit, alhasil FBT lebih ringkas.
Desain B+ yang tinggi juga berpengaruh terhadap desain induktansi yoke horisontal (semakin tinggi B+, semakin panjang lilitan yoke horisontal, semakin tinggi resistansi/induktansinya).
Dengan kritisnya besar tegangan B+ inilah tidak heran bila tegangan B+ menjadi salah satu tegangan yang paling ‘dipelototi’ oleh sistem proteksi, yang akan terprotek bila B+ terdeteksi melebihi dari tegangan normalnya. Metode penyensoran B+ selain dengan menyensor langsung pada jalur B+, bisa juga dengan menyensor tegangan keluaran dari sekunder FBT, misalnya dengan menyensor besar tegangan pada output tegangan heater.
SMKN 1 Blitar